Mengakhiri sesuatu yang tidak dimulai
Kamu membuat gempa lokalmu. Iya, tepat di sebelah kiri
dada yang dilapisi lebih banyak tulang ketimbang dagingku. Sepertinya kamu
bosan dan semakin sering saja dibandingkan hari-hari yang lalu. Dan aku
baik-baik saja menjadi salah satu pilihanmu meluapkan perasaan suntukmu. Aku tahu
benar dan menerima sepenuhnya hal itu. Waktu memang bergerak terlampau cepat,
sudah empat tahun sejak aku melihat cahaya di bola matamu malam itu. Kalau pakai
hitungan anak kuliahan, seharusnya sekarang sudah waktunya wisuda, sekalian
lulus predikat terpuji karena tepat waktu.
Aku sudah tidak perlu lagi membohongimu. Akhirnya memamerkan
yang sebenarnya aku pikirkan tentangmu. Walaupun tidak ada gunanya juga kamu
tahu itu. Tapi masih terlampau sering kata yang hanya sempat diketik tanpa
dikirimkan padamu. Menahan ledakan rasa yang tidak bisa dijelaskan setiap kali
menerima pesan obrolan yang berasal dari nomor ponsel yang kutulis nama
lengkapmu.
Berapa waktu lalu kamu mendadak berbagi daftar lagu yang
sering didengarkan olehmu. Deretan karya seni bentuk audio yang sebenarnya asing
di telingaku, tapi terasa nyaman dalam pelukku. Teman belajar, katamu. Ternyata
membuat aku fokus, bukan pada buku, tapi pada rindu melihatmu.
Kamu mengirimkan potret wajahmu dan menodongku berkata jujur
mana yang tidak jelek, tanyamu. Tentu semuanya tampak menggemaskan untukku,
walau kau tidak serta merta percaya itu. Aku benar-benar harus lebih menjaga
kesehatan jantungku, karena tindakanmu yang mengundang laju kecepatan peredaran
darah di tubuhku yang tidak menentu. Semakin jauh daya khayalku padamu.
Pernah sekali kita bertukar suara walau berbeda jarak yang
jauh. Sampai satu kali waktu aku dengan ragu-ragu berharap melihatmu dengan
utuh dalam satu garis waktu. Kala itu, aku harus mampu mempersiapkan diri
terlebih dahulu karena terlampau khawatir kalau bertindak terlalu buru-buru. Sampai
akhirnya kita menjadi satu di layar ponsel pada hari itu. Namun di saat yang
sama, kamu berhenti menyapaku karena tindakanku yang terlewat rancu. Kau membenciku
karena hal itu.
Tidak pernah aku berani menyapamu terlebih dahulu karena
khawatir akan mengganggu. Aku juga terlampau sadar diri bukan apa-apa di
matamu. Setiap hari terasa pilu. Raga ini digerogoti ragu. Mungkin sudah
waktunya aku berhenti memimpikanmu. Tidak sepantasnya aku terus terbelenggu oleh
angan untuk bersamamu. Kamu terlampau sempurna untukku. Aku terlalu buruk untukmu.
Comments
Post a Comment