cerpen: tanda tanya


Hasan terperanjat kaget melihat pengumuman yang sedang Ia baca di Koran. Sesekali Ia memicingkan mata tanda ragu dan membolak-balikkan halaman, seolah hal itu dapat membantunya percaya dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang. Setelah yakin dengan apa yang terjadi, Hasan berpikir sejenak, kebingungan dengan rasa senang yang memenuhi seisi tubuhnya. “Setelah menunggu satu tahun lamanya, akhirnya perusahaan media yang aku impikan ini membuka lowongan” seru Hasan. Sudah bukan hal yang aneh kalau Hasan bicara sendiri, itulah hobinya. Untung saja tidak ada yang melihatnya.

“Bro, koran harian Suara Post akhirnya buka.” Hasan menyembur seseorang di ujung telpon

“Salam dulu lah” balas Rahmat

“Oiyah, Assalamualaiku. Selamat pagi.” Hasan memberikan salam

“Waalaikumsalam. Selamat pagi.” Rahmat membalas salam kemudian kembali menanyakan perihal yang sepertinya begitu membahagiakan Hasan sampai lupa memberikan salah terlebih dulu. “Jadi, gimana, San? Jelasin dari awal lagi dong biar aku ngerti. Jangan main nyembur gitu.” terang Rahmat

“kamu tahu kan surat kabar kota kita, suara post, yang aku certain sejak bangku kuliah sampe sekarang sudah berselang satu tahun pasca wisuda. Nah, akhirnya mereka buka lowongan calon wartawan”

“Terus masalahnya di mana? Kamu kejar dong. Itu kan mimpi kamu dari dulu, ya kan?”
“Iya dong. pastinya. Aku cuma mau berbagi info bahagia ini aja. Rasa-rasanya ingin meledak karena saking senangnya dengan apa yang terjadi. Aku sudah menunggu setahun, lho. Luar biasa.”

Hari itu juga Hasan mempersiapkan semua persyaratan yang diminta dan segera mengumpulkan berkas lengkap dengan surat lamaran. Dua minggu berselang, Hasan juga menjadi yang pertama melakukan registrasi ulang. Sampai akhirnya tiba pemanggilan seluruh pelamar untuk mengikuti tes tertulis dan wawancara yang dilakukan pada hari yang sama. Walaupun Hasan tidak yakin memiliki kemampuan menulis yang wah, akan tetapi dirinya cukup percaya diri. Menulis dengan sedikit perlahan, berupaya agar tulisannya nanti bisa dibaca. Maklum, tulisan Hasan sering diprotes teman karena susah dibaca.

“Bekerja sebagai wartawan, kita dituntut untuk memusatkan seluruh tenaga dan pikiran. Kami tidak bisa menjamin jumlah pasti jam kerja. Wartawan selalu dituntut untuk siap meliput kapan pun” ujar seorang bapak berbadan besar dengan suara melengking namun memancarkan aura positif yang hangat.

Hasan berpikir keras kemudian menjawab jujur. Ini bukan wawancara pekerjaan pertamanya. Sejak lulus kuliah satu tahun lalu, Hasan sudah sering melakukan wawancara kerja dan berhasil bekerja di sejumlah kantor walaupun tidak pernah lama dikarenakan masa kontrak yang sudah berakhir atau pun menerima kesempatan kerjaan baru yang diterima. Namun Hasan yakin kalau bekerja di perusahaan media yang sedang Ia ajukan lamaran ini adalah mimpinya sejak lama. Sayangnya, Hasan sementara sedang berada dalam kontrak kerjaan lain, mengajar les bahasa inggris setiap dua kali seminggu, sejak enam bulan lalu.

Dengan sedikit menarik napas dalam dan menegakkan tubuhnya yang sempat kendur sebentar, Hasan pun mulai bersuara melakukan penjelasan yang lebih mirip pembelaan dengan nuansa pengakuan dosa. “Iya benar, saya sekarang sedang bekerja di tempat lain. Tapi hanya dua kali seminggu. Saya janji, saya akan memberikan waktu saya selain daripada itu untuk totalitas menjadi wartawan di perusahaan ini”. Bapak pewawancara yang suaranya sudah memang besar sejak awal wawancara berlangsung, kelihatan tetap konsisten dengan suarnya yang lantang memenuhi ruangan yang hanya diisi mereka berdua. Perdebatan pun berlangsung. Hasan bersikukuh untuk menjalankan keduanya tanpa merugikan salah satunya. Si pewawancara tetap menginginkan Hasan untuk mundur dari pekerjaan Hasan. Setelah beberapa lama perdebatan berlangsung, akhirnya proses wawancara pun berkahir dengan masing-masing tetap teguh mempertahankan pendirian masing-masing sejak awal. Peserta lain pun masuk.

“Gimana tadi?” Salah seorang peserta wawancara yang juga kebetulan adalah kenalan Hasan bertanya. “Yah, gitu deh, aku orangnya selalu jujur apa adanya kalau wawancara kerja.” Suara Hasan terdengar lesu, berbeda saat sebelum memasuki ruangan wawancara. Sesuatu yang diinginkan bertabrakan dengan realita yang sedang dijalani. Hasan pun menghabiskan waktu menunggu semua peserta selesai wawancara untuk kemudian mendengarkan pengumuman agenda perekrutan keesokan hari. Sesekali melirik telepon genggam yang bergerak semakin lama karena terlalu sering dilihat berulang kali.
Semua peserta wawancara pun akhirnya selesai diwawancarai. “Terima kasih kepada semua peserta yang sudah bekerja sama dalam proses perekrutan hari ini. Kami akan informasikan agenda selanjutnya melalui telepon atau pesan singkat. Tetap semangat dan sampai jumpa”. Kalau yang tadi mewawancarai Hasan adalah pria berbadan besar, kalau yang memberikan informasi setelah proses wawancara adalah pria berbadan tidak terlalu besar dengan rambut sedikit ikal dan brewok di sekitaran dagu. Untuk Hasan yang tidak terlalu rajin bicara, Hasan cukup sering memperhatikan detail penampakan lawan bicara.

Hasan melemparkan badannya di atas tempat tidur sesaat sampai di rumah. Ternyata tidak memakan waktu lama untuk pihak kantor menghubungi, setelah beberapa jam berselang, Hasan mendapatkan pemberitahuan menerima pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal. “Berdasarkan hasil wawancara, saudara Hasan dikabarkan sedang bekerja di tempat lain, apakah saudara bersedia untuk memilih salah satu. Karena hal ini merupakan peraturan perusahaan yang harus dipatuhi tanpa terkecuali” Hasan membaca bunyi pesan singkat yang membuat rasa cemas yang dikiranya sudah selesai ternyata berlanjut ke episode selanjutnya. Hasan pun membalas pesan singkat setelah berpikir sebentar. Mengatakan bahwa dirinya akan menghubungi atasannya untuk segera mengurus pengunduran diri.

Malamnya, Hasan bertandang ke rumah atasan yang Ia maksudkan dalam pesan singkat balasan. Hasan sudah bulat ingin meniti karir sebagai wartawan karena memang itu adalah mimpinya sejak lama. Akan tetapi saat bertemu dan menceritakan semuanya, hatinya meragu. “Kita sudah kompak menjad satu tim yang solid selama enam bulan terakhir. Rasanya akan sangat sedih jika kehilangan Hasan. Mungkin Hasan bisa pikirkan kembali masak-masak. Mungkin ada jalan lain.” Jelas seorang Bapak berperawkan tinggi besar tapi tidak gendut. Bapak Mahmud namanya. “Saya juga sebenarnya tidak mudah untuk berhenti mengajar. Hal ini begitu berat untuk diputuskan. Untuk memilih salah satu” jawab Hasan.

Setelah berdiskusi panjang lebar tanpa solusi. Akhirnya Pak Mahmud memberikan saran untuk Hasan pulang dulu dan memikirkan kembali dalam waktu semalam. Dibawa tidur dulu katanya. Keesokan harinya, Hasan membuka mata yang penuh kantuk dengan perasaan mengganjal. Ada keputusan besar yang harus diambil. Sebelum tidur tadi malam, Ia sempat berdiksui juga dengan teman-teman dekatnya melalui chat whatsapp yang sama saja tidak membuahkan hasil. Karena pendapat apapun yang diterima, hasil akhirnya ada di tangan Hasan sendiri. Pak Mahmud juga sempat memberikan saran agar Hasan mnghubungi kantor pusat di Jakarta karena program mengajar ini kontraknya bersama pihak Jakarta.

“Gimana? Sudah ketemu pilhannya?” tanya pak Mahmud saat selesai kelas. “Tadi pagi, saya sudah menguhubungi pihak Jakarta dan katanya memang tidak bisa untuk mengundurkan diri karena masa kontraknya yang memang masih lama” terang Hasan. “Kenapa gak jalanin keduanya aja? Aku yakin pasti bisa kok. Kan kelas ngajar kita hanya dua kali dan itu pun sore kan.” Sahut Sari memberikan solusi yang tidak terpikirkan. Tapi juga sebenarnya berbahaya. Kalau pun bisa keduanya namun mau sampai kapan harus berbohong. Hasan bukan tipe orang yang mahir dalam berbohong sekecil apapun konteknya. Apalagi sekarang yang bisa dibilang bohong besar-besaran. Tanpa diperkirakan, Pak Mahmud mengiyakan usulan Sari. “Saran sari ada benarnya. Kamu coba jalani keduanya dulu saja berbarengan”

Hari senin pun di mulai. Hasan yang sudah memutuskan untuk mengikuti saran menjalani keduanya, langsung memberikan pemberitahun sikap melalui pesan singkat. Peserta yang lulus wawancara sekarang berkumpul untuk mengikuti pelatihan yang kemudian dilanjutkan dengan training. Hasan berusaha keras untuk sedikit melupakan rasa bersalah dan fokus mengikuti pelatihan. Rasa penasaran Hasan satu per satu terjawab di pelatihan. Bertemu dengan banyak wartawan senior Suara Post benar-benar membakar semangatnya. Teman-teman calon wartawan pun tidak kalah menginspirasi, tidak sedikit yang datang dari berbagai jurusan yang tidak ada hubunannya dengan menulis. Mereka diajarkan proses memasak berita dari proses wawancara di lapangan sampai bagian akhirnya disatukan menjadi satu berita utuh berjumlah 20 halaman surat kabar dengan berbagai jenis halaman liputan di dalamnya.

“liputan ekonomi?” wajah Hasan mendadak pucat dan mengerutkan dahi. Ada berbagai jenis liputan, akademika, kesehatan, politik, kriminal, olahraga, pantauan kota dan banyak lagi. Hasan yang tidak pernah bersahabat dengan angka harus menerima penempatan di bagian liputan ekonomi. Setiap calon wartawan diberikan satu wartawan sebagai pembimbing. Setelah 3 hari pelatihan yang diisi dengan berbagai materi yang padat seputaran dunia jurnalisme. Tibalah hari dimulainya training yang rencananya dilakukan selama 3 bulan untuk calon wartawan. Semuanya begitu semangat berkenalan dengan wartawan pembimbing masing-masing sambil merencanakan liputan di keesokan harinya.

“Besok kita ketemuan di kantor. Setelah itu kita berangkat ke pasar untuk melakukan pantau harga” terang seorang wartawan yang kelihatan sudah terbiasa dengan liputan ekonomi. Namanya Kak Bela. Keesokan harinya mereka Hasan dan Kak Bela sudah berada di pasar tradisional yang ternyata terdiri dari 3 bagian. Hasan yang selama ini hanya tahu ke pasar untuk membeli apa yang dibutuhkan tidak pernah tahu dengan fakta ini. Hasan pun bingung kenapa pasarny harus ada sampai 3 dan berderetan.

Hasan memperhatikan gaya wawancara Kak Bela yang terlihat begitu lihai. Berjalan menembus padatnya pasar yang penuh sesak dengan penjual dan pembeli. Banyak sekali penjual yang sudah mengenal Kak Bela. Tidak jarang mereka bercanda sebelum akhirnya melakukan proses wawancara. Banyak juga yang mendadak curhat dengan kondisi pasar. Kondisi penjualan yang menurun karena banyaknya pesaing pasar sebelah. Yang anehnya adalah, walaupun mereka bersaing saling berhadapan menjual barang dagangan tetapi mereka semua tetap bisa dengan ringan tersenyum lebar setiap hari.

“Kalau wawancara bareng ibu-ibu penjual di pasar itu kita tidak usah menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan tegas. Perlakukan diri seperti sedang bicara dengan ibu kita sendiri di rumah saja” Kak Bela membagikan tips wawancara sambil masing berjalan menyusuri dalamnya pasar. “Wawancara pun tidak boleh hanya satu. Tapi banyak orang, semakin banyak data semakin bagus, nanti kita tinggal tarik saja harga rata-ratanya. Dan jangan sampai keliru dengan angka harga. Kita tidak mau mengecewakan ibu-ibu yang membaca Koran kita untuk mengikuti pantauan harga terkini” Hasan semakin kagum setelah mendengarkan penjelasan. Pedahang cabai, tomat, ikan, daging, semuanya diwawancarai.

Siang hari waktunya kembali ke kantor untuk menuliskan berita. Berita yang ditulis Hasan jelas belum tentu bisa diterbitkan. Namun harus terus dituliskan dan kemudian diterima revisi dari redaktur. Jadi di dalam perusahaan media itu ada strukturnya. Reporter, redaktur, pemimpin redaktur. Kemudian ada yang namanya dewan redaktur dan direktur. Perusahaan media juga terbelah menjadi dua, bagian jurnalisme yang penuh dengan independensi dan ada bagain pemasaran untuk mengurus bisnis iklan.

Setelah tiga hari menjalani training yang membuat calon wartawan untuk turun ke lapangan bersama para pembimbing. Hasan merasa begitu senang dan bersyukur. Ada narasumber yang terlalu suka bicara sampai membuat ngantuk. Ada narasumber yang membuat Hasan penasaran dan akhirnya melontarkan pertanyaan. Untuk durasi menulis berita, Hasan bisa menghabiskan dua jam hanya untuk menulis satu berita yang kemudian nantinya bakalan dihujani dengan catatan revisi. Hasan menikmati semuanya. Namun Hasan juga tersadar kalau dirinya tidak bisa terus berbohong. Menjadi wartawan memang mimpinya sejak dulu. Tapi bukan berarti lantas membuat Hasan menghalalkan berbagai cara, dalam kasus ini yaitu membohongi tentang dirinya yang sudah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya.

“Dengan berat hati saya ingin mengatakan bahwa saya sudah tidak bisa melanjutkan proses training. Tidak ada yang ingin diduakan dan saya pun tidak ingin mendua. Ini memang mimpi saya yang sudah saya tunggu selama setahun penuh dan sadar kalau Suara Post tidak membuka lowongan tiap tahun. Saya sudah mengajukan undur diri dari pekerjaan sebeumnya tapi tidak diterima dan akhirnya bohong. Saya benar-benar memohon maaf. Berterima kasih untuk semua pengalaman sebentar tapi luar biasa” penjelasan Hasan yang mendadak membuat semua teman-teman calon wartawan kaget. Hasan yang tidak mudah dekat dengan orang baru tapi akhirnya perlahan mulai nyaman pun merasa kehilangan.

Salah satu wartawan senior Suara Post yang juga sudah mengenal Hasan sejak lama pun berkomentar bahwa dirinya salut dengan kejujuran Hasan. Memberikan sedikit wejangan bahwa mencari kerja memang terkadang sedikit banyak mirip dengan mencari jodoh. Hasan yang belum memiliki jodoh pun merasa tergelitik namun tetap sedih. Kak Ayu namanya, bukan hanya wartawan senior namun juga sekaligus pemimpin redaksi perempuan pertama yang dimliki Suara Post dan sedang menjabat. Hasan merasa begitu tidak enak dengan sudah berbohong dan terlebih lagi mengecewakan semuanya.

Hasan sekarang sudah tidak memiliki mimpi apapun. Ia kehilangan arah. Mimpi yang Ia inginkan sejak lama telah Ia relakan untuk dilepas dengan gampangnya. Tak pernah Hasan pikirkan sebelumnya bahwa hidup bisa sebercanda itu. Bahwa hatinya bisa dipermainkan rasa dengan mudahnya. Hasan sekarang kehilangan arah. Sebelumnya, Hasan pernah kehilangan wanita yang paling Ia cintai tanpa sempat memperjuangkan untuk mendapatkan, butuh waktu 3 tahun untuk Hasan bisa pulih walau masih belum menemukan wanita lain untuk dicintai. kehilangan pekerjaan impiannya. Muncul tanda tanya besar.

Comments