A Cup of Tea - Gita Savitri Devi
Gue baru banget selesai baca buku
kedua dari Gitasav (iya maaf pengen pakai sudut pandang orang pertama tunggal
gue-gue-an bukan ‘aku’ untuk tulisan kali ini biar kayak Gita) yang judulnya A
Cup of Tea yang mungkin bisa dibilang sekuel dari Rentah Kisah. Beneran dah
baru nyadar nih gue kalau buku yang pertama itu tiga tahun lalu katanya (iya berasa
aneh banget pake gue-gue ginian) yang artinya sudah sejak saat itu gue ngikutin
si Gita sebagai tontonan yang selalu bikin mikir dan bikin ngangguk. Sama kayak
buku yang sebelumnya, cara penyampaiannya santai banget, persis kayak yang
sering bisa terlihat dari vidio-vidio yang dia unggah, tapi ini lebih ke versi
tertulis gitu aja sih, kayak di blognya. Kalau udah sering dan terbiasa juga
menikmati isi kepala Gita dalam format tulisan dengan menjadi pengunjung setia di
situs blognya (yang sekarang sudah jadi website dong pake dot com sekarang) bisa
dijamin gak akan terlalu susah untuk mencerna sih, kayak dengerin
Gita ngobrol aja.
Gue mesen bukunya agak telat
karena sempat ragu-ragu gitu karena kan lagi gak bisa kemana-mana yang artinya
gak bisa jalan ke toko buku untuk nyamperin nih buku. Eh, untungnya ada
kebijakan baru toko gramedia yang pesan dan diantar gitu, lumayan berasa kayak
lagi pesen makanan dari gofood. Seperti gedung bioskop yang ada berdiri sendiri
dan ada yang gabung sama pusat perbelanjaan, gedung gramedia juga begitu,
walaupun belum pernah sekalipun berhasil mampir langsung sih. Ukuran bukunya imut
banget persis sekitar ukuran telapak tangan, gak bermaksud bilang telapak
tangan gue imut, maksudnya ukurannya aja yang kira-kira segitu. Warnanya juga
lebih menyenangkan, kayak ada nuansa-nuansa kopi gitu karena ada gabungan warna
yang salah satunya kecoklatan, walaupun judulnya adalah A Cup of Tea kan bukan
A Cup of Coffee, apaan sih gak jelas banget. Sedangkan untuk jumlah halaman
kurang dari 200 halaman sekitar 160an gitu kurang lebihnya. Gue lupa kalau Rentang
Kisah berapa halaman tapi kayaknya buku kedua ini lebih singkat walau isinya
tetep berat dengan pandangan-pandangan Gita melihat segala sesuatu yang ada.
Mau sambil nginget-nginget lagi
buku pertamanya tapi jujur gue lupa banget karna udah lama gak baca-baca ulang
lagi kan, agak nyesel gak bawa bukunya masukin ke koper, yah sudahlah. Gue ngebacanya
sampai tiga harian, dua kali sebelum tidur dan hari ini pas bangun dari tidur
siang. Sengaja pengen baca santai aja sih pelan-pelan gak mau cepet-cepet. Masih
tetap ada gabungan kata-kata yang mayoritas Bahasa Indonesia dan sedikit Bahasa
Inggris yang nyelip di sana-sini. Tapi gak apa-apa, justru berasa kayak jadi
corak sendiri gitu, kayak dijadikan muara dari penjelasan kalimat-kalimat panjang sebelumnya.
Gue berasa diajak keliling dunia
dengan membaca buku ini, kayak nonton vidionya, tapi kali ini tanpa ada visual
gambar bergerak melainkan kata, ya ada sih satu dua potongan foto untuk
pemanisnya. Terus di setiap perjalanan Gita di setiap tempat berbeda itu diceritakan
gitu apa yang dipetik dari situ. Setelah beberapa bab jalan-jalan satu negara
ke negara lain, masuk ke paruh kedua dari isi bukunya, pembahasan mulai agak serius,
salah satunya pengalaman pahit Gita waktu jadi korban fitnah di internet, gue
juga masih ingat benar dan juga sedih banget waktu itu. Seseorang yang
sok-sokan paling benar itu mengedit vidio Gita yang satu jam-an jadi satu menitan
dan membuat Gita seolah salah. Gak perlu lah ya, disebutin namanya, kalau ngikutin
juga pasti bisa langsung tahu gue maksud siapa.
Waktu itu gue salut banget sama
Gita, gimana dia bisa tetap kuat melawan netijen-netijen berkedok merasa paling
benar dan paling tunduk pada aturan agama yang dianut. Ternyata beda banget
dari semua yang terlihat dari luar, Gita terluka banget saat itu sampai-sampai hampir
bisa berakhir kayak salah satu tokoh publik kalangan artis asal negeri ginseng
yang kemarin mengakhiri hidupnya karena hal yang serupa itu. Gue sedih banget
dong bacanya, tapi kabar baiknya Gita berhasil bertahan. Selain itu, gue agak
sedih karena Gita terus-terusan ngomongin mantannya yang nyakitin dia, kalua gak
salah sudah pernah disebutkan di buku sebelumnya juga. Apakah gak
kasihan sama Paul, ya?
Kabar baik beberapa waktu lalu tentang
Rentang Kisah yang akan dijadikan film itu beneran. Setelah sempat ada unggahan
poster film pertama yang sudah berseliweran di media sosial, diunggah sama Gita
dan sama aktor dan aktris yang rencananya akan menjadi pemain di dalam film Rentang
Kisah. Gak terlalu bisa atau mau kasih komentar mengenai hal ini. Terlepas dari
jajaran pemeran yang gue kurang kenal banget, rasanya agak ganjil aja gak sih,
kisah Gita dan Paul masuk ke layar lebar. Ya, walaupun gue paham betul kalau sosok
Gita emang unik dengan karakter yang kuat dan lebih banyak lagi orang yang bisa
banget terinspirasi kalau kisahnya disampaikan lewat bentuk film.
Oke, sebelum terlalu jauh melenceng,
mari kembali membahas buku A Cup of Tea dari Gita ini. Gak tahu kenapa justru
beberapa bab terakhir berasa serius banget dan gue suka karena hal itu. Ada banyak
nilai-nilai baru yang disampaikan, yang tidak harus disetujui kalau kamu gak
mau setuju, tapi lumayan bisa jadi referensi tentang bagaimana sih sebenarnya
cara kerja isi kepala seorang Gita. Kalau gak salah, di Rentang Kisah itu lebih
ke bagaimana bisa dari Indonesia ke Jerman dan menemukan agama yang sudah
dianut lama tapi baru-baru saja didalami justru saat sendiri di luar sana,
sekalian bagaimana bertemu dengan Paul, yang menyeberang dari satu keyakinan ke
yakinan yang lainnya. Nah, sekarang Gita dan Paul sudah
menikah, jadi diselipin tentang pernikahan.
Tentang memandang pernikahan yang
sama sekali berbeda dengan kebanyakan muda-mudi yang mengagung-agungkan
pernikahan dan semuanya berubah dalam artian yang dua menjadi satu. Tapi, di
sini Gita memberikan sudut pandang berbeda dengan kita bisa saja bersatu dalam
pernikahan akan tetapi tetap menjaga kemerdekaan masing-masing. Gimana jelasinnya
ya. Kayak iya memang kalau memutuskan untuk bersama artinya sudah pasti
memiliki pandangan yang sama tentang semua hal, atau setidaknya hampir semua
hal, akan tetapi tidak serta merta saling tergantung ke yang lain. Maaf kalau gue
ngambil kesimpulan kayak gini setelah baca bukunya, karena ini ulasan buku jadi
gue menyampaikan sebagaimana gue berhasil nangkapnya. Oiyah, gue sambil dengerin
vidio yang paling gue suka dari Gita, vidio nyanyi bareng Paul lagu Tulus
yang Teman Hidup.
Sempat disinggung juga caranya
menemukan kebahagiaan dengan berdamai dengan diri sendiri yang seakan-akan itu
jahat banget, bahkan terkadang bisa jadi lebih jahat daripada omongan orang
lain. Untuk seorang tipe pemikir, gue gak heran sih kalau topik ini juga menjadi
salah satu yang mengusik. Seorang Gita yang sudah jelas-jelas banget, gimana
ya, kayak gak ada kekurangan gitu, masih dihantui dengan komentar-komentar
jahat dari diri sendiri untuk diri sendiri, ya bagaimana dengan gue kan pasti lebih parah.
Halaman-halaman terkahir diisi
dengan refleksi satu dekade terakhir. Dan bagian ini gue agak familiar dan
ternyata benar ini adalah satu tulisan yang Gita unggah di website dan juga
udah gue baca. Iya, emang penting sih, gimana kita bisa mengevaluasi semuanya
dengan benar dan tanpa berat sebelah, bahwa banyak hal yang kurang baik yang
sudah dilewatkan dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi ada banyak juga
hal-hal baik yang tidak boleh luput dari perhatian, yang patut banget disyukuri
seutuhnya.
Selain mendapatkan pembatas buku,
juga ada selembar kertas warna-warni yang berisikan semacam tabel gitu dan disediakan
kolom yang sengaja dikosongkan untuk nantinya bisa dilengkapi kemudian. Tertera
dengan jelas dan terang di sana, tahun 2020 di sebelah kiri dan tahun 2021 di
sebelah kanan. Masih kosong, belum berani gue isi, hehe. Tentu saja ada hal-hal
yang gue secara pribadi harapkan untuk terjadi di tahun ini atau tahun depan dan
seterusnya. Setiap manusia jelas memiliki harapan-harapan yang mereka bisikan
diam-diam dalam hati setiap harinya, yang terlalu khawatir untuk dibagikan
dengan banyak orang mungkin. Sebagai seseorang yang sempat memiliki mimpi besar
saat masih di bangku sekolahan dulu dan akhirnya menyerah pada akhirnya, dan
sering banget dicekoki dengan bagaimana percaya dengan mimpi dari film-film animasi
khas produksi dari Disney, agaknya perihal membuat harapan dan bermimpi tentang
masa depan menjadi suatu keniscayaan.
Hwaaaaa jadi penasaran sama bukunya
ReplyDeleteSegera mampir ke toko-toko terdekat di kota andaaa
DeleteFix bakal masuk list (of books) to read!
ReplyDeleteWoohooo bener banget dan gak bakal nyesel sih
Delete