belajar jadi pengkritik sastra amatir di mata kuliah literature and philosophy; Kritik Sastra Cerita Pendek Sepatu Cinta Oleh Fachmi Alhadar
Saya belum pernah melakukan kritik
sastra sebelumnya, sehingga apabila terdapat hal yang tidak semestinya maka
diharapkan untuk dapat dimaklumi.
Mahasiswa sastra memang terbiasa dengan analisis sastra dalam rangka mencari
makna tersembunyi di balik rangkaian kata demi kata dalam suatu cerita
tertentu. Pada kesempatan kali ini, ijinkalah saya mencoba menjadi seorang
pengkritik sastra amatir.
Pertama-tama, mari mulai dengan
melihat judul dari ceritha pendek ini, Sepatu Cinta, kenapa harus sepatu?
Kenapa tidak yang lainnya? Kenapa tidak pakaian atau celana? Kenapa harus
begitu spesifik sampai sepatu olahraga? Kenapa tidak mengatakan sepatu biasa
saja yang bisa digunakan setiap harinya? Sepatu olahraga hanya bisa digunakan
setiap olahraga saja. Hal ini bisa saja memang sudah direncanakan oleh
pengarang agar dapat melakukan pengkhususan agar fungsi dari sepatu cinta bisa
lebih fokus dan mengerucut serta tidak terlalu melebar kemana-mana.
Dari segi gaya bahasa yang
digunakan, cerpen ini bisa dikatakan mudah dicerna karena pembaca tidak akan mendapati
kendala berarti dalam membaca cerpen ini dikarenakan gaya bahasanya yang ringan
dan mengalir. Yang unik adalah, keputusan pengarang menggunakan nama
produk-produk tertentu seperti “Aroma pelembut dan pengharum molto mengii
rongga hidungnya” yang sebenarnya tidak perlu secara langsung serta merta
disebutkan. Bisa saja menggunakan “aroma pelembut dan pengharum salah satu produk
pewangi pakaian ternama di Indonesia” misalnya. Tapi pengarang sepertinya lebih
suka langsung meyebutkan nama produk yang digunakan. Pastilah pengarang
memiliki alasan khusus di balik hal ini.
Pengarang menyisipkan tentang
filsafat bersyukur atas apapun yang kita miliki seperti dalam salah satu
ekspresi dalam cerpen; “Kau selalu bilang padanya dengan bangga bahwa itu
adalah salah satu milikmu dari sedikit yang kau punya, dan yang paling kau
banggakan”. Pengarang mencoba menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa dalam
menjalani hidup ini kita selayaknya selalu memiliki sifat bersyukur atas segala
yang kita miliki.
Terdapat satu ekspresi yang
melambangkan ketidakkonsistenan yang entah apakah disadari ataupun tidak
disadari oleh pengarang; “Sudah sejak hari kau berangkat, aku berdiam dalam
kamar ini, dan hanya keluar untuk makan, mandi dan buang air”. Tidak konsisten
dikarenakan terdapat kata-kata “berdiam dalam kamar ini” akan tetapi kemudian
dilanjutkn dengan “hanya keluar untuk makan, mandi, dan buang air”. Seharusnya
aktivitas makan dan mandi serta bung air juga dilaksanakan di dalam kamar saja
karena katanya “berdiam dalam kamar”. Semua hal tersebut tidak perlu dilakukan
dengan cara menciptakan kamar yang disertai dengan kamar mandi serta
mengantarkan makanan ke dalam kamar. Akan tetapi, pengarang bisa jadi juga
konsisten dengan cara mengfungsikan kamar tetap sebagai tempat tidur kemudian
kamar mandi sebagai tempat mandi dan membuang hajat serta makan di tempat
seharusnya seperti meja makan.
Hal lainnya yang perlu dikritsi
adalah bagaimana pengarang mengakhiri cerita dengan cara membuat Tina jatuh
pingsan setelah mengetahui anak bungsunya Izul
yang terluka saat bermain sehingga mengalami pendarahan di daerah kepala
yang sontak membuat Tina tidak sadarkan diri dan terbangun di dalam kamar rawat
inap rumah sakit; “Dia hanya diam,tak bergerak. Matanya terus menerawang, dan
bulir-bulir bak mutiara terus berulir, meliuk-liuk membentuk alur di atas
pipinya yang pucat sebelum menggelantung di dagu dan jatuh di dadanya. Di
bibirnya juga yang juga pucat, ada air mata yang singgah. Pahit dan getir”
Berdasarkan pengkutipan deretan
kata-kata terakhir dalam cerpen ini maka dapat kita lihat nilai filsafat yang
coba disampaikan oleh pengarang berupa begitu pahitnya kenyataan yang
mengahuruskan kita menelan tragedi yang menjadi kenyataan hidup yang kita
alami. Pada awalnya saya mengira bahwa apa yang akan dilakukan Tina di bagian
akhir cerita adalah menjadi wanita yang tangguh dan akhirnya tegar menghadi
kenyataan pasca ditinggal mati oleh suaminya, akan tetapi yang terjadi justru
sebaliknya.
Akhir dari cerpen ini juga
memberikan kita informasi mengenai pafam pemikiran sang pengarang yang tidak
member tempat sedikitpun untuk kepercayaan utopis berupa apapun akan berakhir
dengan bahagia dan baik-baik saja. Hal ini ditunjukkan dengan tokoh Tina yang
sama sekali tidak baik-baik saja setelah ditinggal oleh suaminya. Pengarang
mempercayai paham realis yang cenderung melihat keadaan sebagaimana kenyataan
yang ada.
Dalam hidup kita pasti akan mengalami hal-hal
buruk yang mau ataupun tidak mau akan membuat kita berubah dari diri kita yang
sebelumnya. Menerima kenyataan yang tidak diinginkan dengan cara tenggelam
dalam lautan kesedihan yang dipenuhi air mata bukanlah hal yang salah dan harus
disembunyikan. Jika waktunya bersedih maka kita selayaknya manusia haruslah
bersedih. Tidak perlu adanya kepura-puraan yang pada akhirnya akan menyiksa
diri kita sendiri dengan cara tersenyum padahal sebenernya hati menangis serta
menjerit penuh sakit.
Saya memberi nilai cerpen ini 4/5 alias
4 bintang dari total lima bintang
Comments
Post a Comment