sembilan tahun kepergian papah
Hari ini,
Sembilan tahun yang lalu, masih teringat jelas, tangisan paling keras dan
paling tidak tahu malu untuk pertama dan terakhir kalinya. Patah hati paling
dalam datang dari sekian kata yang terucap melalui ponsel. Dunia di sekitarku
runtuh. Orang nomor satu dalam hidupku pergi selamanya. Keesokan harinya, Mamah
kembali ke rumah bersama Papah, tapi beliau sudah tidak ada lagi.
Siang
itu, hari di mana Papah terbang bersama Mamah untuk menuju rumah sakit yang
lebih baik, belum lama setelah burung besi itu melayang, Papah menghembuskan napas
terakhirnya tepat di samping Mamah. Tidak ada lagi gesekan kumisnya yang tebal
dan menggelitik, pelukan tengah malam sembarangan kepada anaknya yang ingin
tidur. Memeluk tubuhnya saat dibonceng dengan motor.
Kehilangan
arah, tidak pernah lagi berani bermimpi besar, anak kecil yang sudah dari dulu berhati kecil itu malah semakin menyusut. Hanya bisa memandang anak-anak
lain yang bisa menghabiskan waktu bersama papah mereka. Mamah yang dulunya
menjadi rembulan untuk matahari, sekarang harus bisa berperan ganda, menjelma
matahari sekaligus bulan tuk menerangi.
Anak
kecil itu bahkan belum sempat minta diajar caranya mencukur kumisnya. Genetik Papah
mengalir deras, kumis serta jenggot tumbuh tebal. Rambut pun tidak kalah sama
rimbunnya. Banyak yang melihat sosok Papahnya dalam dirinya, tapi justru anak
kecil itu sendiri tidak bisa melihat apapun. Hatinya tidak seperkasa milik Papahnya.
Anak kecil itu mendapat banyak hadiah yang tidak pernah dia minta, golongan
darah yang sama dengan Papah, bahkan sebagian nama Papahnya, melekat di
belakang namanya untuk selamanya.
Anak kecil
itu sering berimajinasi rasa pelukan Papahnya, mencoba mengingat suara
papahnya. Sayang, teknologi jaman dulu tidak secanggih sekarang, yang ada hanya
foto-foto lawas. Sosok pahlawan nomor satu yang selalu ada di hatinya. Idola pertamanya,
sebelum mengenal banyak manusia lainnya. Pahlawan nomor wahid sebelum film-film
ajaib heroik yang sudah banyak diputar.
Menghibur
diri dengan sesekali mengunjungi stasiun antar dimensi yang orang-orang sering
sebut kuburan, meski anak kecil itu tahu betul, tidak akan dirinya dapati Papahnya
di sana, anak kecil itu pun memutuskan untuk melihat langit. Kemudian kembali
menatap sekitar, Mamah dan Adik-Adiknya juga butuh perhatian sama. Sudah Sembilan
tahun, kami di sini baik-baik saja, Pah.
Speechless..
ReplyDeleteJadi kangen Ayahku (Rahimahulloh)
Ga usah ditanya, pasti rindu banget. Terasa dari kalimatnya, semoga Papah(Rahimahulloh) mendapat tempat terbaik di sisi-NYA. Aamiin Allohumma aamiin.
Speechless juga...
ReplyDeleteKangen ayah mmmm
Hampir sama dengan cerita ku hiks, Rindu Bpk
ReplyDeleteKangen bapak:(
ReplyDeleteSemoga Papahnya anak kecil itu mendapat tempat terindah di sisi-Nya ya kawan. Begitu pula dengan Papahku yang juga di alam sana.Aamiin!
ReplyDeleteIkut sedih baca ini, semoga Papah si anak khusnul khotimah. Alhamdulillah aku masih memiliki sosok ayah yg teramat aku sayangi
ReplyDeleteSalam hormat untuk terus tegak berdiri, bung.
ReplyDeleteJujur aku terharu,terasa banget rindunya. Hanya doa yang mempertemukan kita yang berbeda dunia, semangkaaaa... semangat ya bro
ReplyDeleteSemoga papanya di sana bahagia :)
ReplyDelete