cerpen: jempolmu harimaumu


Jumlah penonton semakin meningkat tajam. Kengerian yang berasal dari dalam kamar yang tidak bisa dibilang kecil itu semakin detik semakin menyeruak secara digital. Adu mulut di kolom komentar pun tidak kenal ada habisnya, pusat layanan bantuan ramai diserbu penelpon yang silih berganti menghujani, suara penuh jeritan histeris dan isak tangis berburu datang dari ujung telpon. Namun, bisakah semua perhatian yang terlambat itu menolong tubuh yang sudah terlanjur tercekik kain putih di leher tidak ada yang tahu pasti, malam paling mencekam di seluruh negeri ginseng.
………………………………………………………………………………………….
Halo. Nama aku Sunny, dan ini kisah hiduoku, atau setidaknya saat-saat terakhir aku masih hidup.
Sejak kecil aku sudah terbiasa mendapatkan perhatian, begitulah bayaran yang harus ditanggung karena menjadi aktris cilik. Aku sering tampil di iklan beragam produk di televisi. Menanjak remaja, tawaran mulai ramai berdatangan mengajak aku main sinetron. Ayah dan Ibu begitu mendukung, dan aku juga baik-baik saja, jadi sama sekali tidak ada masalah dengan kesibukan yang aku jalani setiap hari sejak belia.
Puncak karirku dimulai saat aku menandatangani kontrak dengan salah satu sebuah perusahaan musik untuk menjadi salah satu anggota grup musik perempuan. Saat bersamaan di mana dunia diperkenlkan dengan yang namanya media sosial. Aku tidak lagi hanya mendengar teriakan penuh semangat orang-orang yang menyoraki saat aku berada di atas panggung. Namun, aku sekarang bisa mendengar jelas bisingnya sorakan mereka di kolom komentar yang mengelu-elukan namanu setiap hari. Tapi, tidak semua yang ada di kolom komentar adalah penggemar, ada juga pembenci.
“Sok cantik banget, sih. Padahal jelek gitu”
“Berpakaian yang rapi dong. Jangan bikin malu negara kita dengan menjadi wanita jalang nomor satu di internet. Bikin malu terus saja kamu”
“Aku penasaran, apakah dunia bisa jadi lebih baik kalau kamu yidak ada lagi di dalamnya hahha”
Itu baru sedikit saja dari ratusan ribu bahkan jutaan komentar jahat orang-orang kepadaku. Tapi, aku terus saja membacanya. Mencari komentar baik di bawah tumpukan komentar jahat. Aku sudah berusaha mencari bantuan psikolog karena gangguan mental yang disebabkan oleh banyaknya komentar jahat, terkadang aku merasa baik, tapi tidak setiap hari adalah hari yang cerah.
Saat pikiran jahat itu datang, aku mencoba untuk menemani diri dengan tidak hanya sendirian. Aku membuka aplikasi media sosial milikku, pengikutnya jutaan, tapi aku tahu ada jutaan pembenci yang ada di dalamnya. Satu jam pertama, komentar baik menemaniku, aku mencurahkan setiap keluh kesah yang aku rasakan.  Sampai tanpa sadar, bola mataku panas dan basah.
“Kau harus tetap kuat. Kau adalah panutanku”
“Kakak yang cantik tidak boleh lemah. Semangat”
“Hatiku hancur melihat kamu mengangis”
Hatiku seketika merasa hangat dengan komentar-komentar baik tersebut. suasana yang tadinya mendung perlhan cerah. Sedetik kemudian badai dan guntur datang bersahut-sahutan di komentar.
“Kamu masih hidup? Aku kira sudah mati”
“Kami tidak tertipu. Kan kamu jago main sinetron”
“Aku mual. Ingin muntah melihat kelakuanmu”
……………………………………………………………………………………….
“Aku sudah tidak sanggup lagi.” Kataku lirih.
(Iya, cerpen ini terinspirasi kasus yang itu tuh.)

Comments

  1. Dahsyatnya pengaruh sebuah kalimat itu, ya😬

    ReplyDelete
  2. Sesungguhnya pembenci itu adalah orang-orang yang iri. Cuwekin aja.
    Ceritanya bisa dilanjutkan nih.

    ReplyDelete
  3. Aahh..sulli..temennya IU...
    Betàpa berat jadi artis ya..mending jadi penulis 😀😀

    ReplyDelete

Post a Comment