menulis ulang dongeng: pulau maitara




Jam dinding belum genap menunjukkan pukul sepuluh malam, seorang anak kecil di balik selimut putih menolak tutup mata. Penampakan wanita bergaun tidur memasang wajah masam, bibirnya monyong, senyumnya yang rapat membentuk lubang kecil di sekitaran pipi yang biasa orang sebut dengan lesung.
“Adek mau dengar dongeng sebelum tidur!” bibir anak kecil itu tidak kalah monyong, tidak mau kalah dari wanita di depannya.
Kehabisan cara untuk membujuk, wanita itu menyisir rambut panjangnuya dengan tangan sambil sedikit membuang napas berat, kemudian melangkah pergi menuju pintu dan hilang. Tidak lama kemudian kembali bersama sesosok pria dewasa berkacamata tebal yang digandeng paksa dengan penuh mesra.
“Nih, si adek katanya gak mau tidur sebelum didongengin kamu”
Wanita itu akhirnya buka suara. Dengan nada manja melapor kepada sosok yang tadi diseret-seret sampai tiba di kasur. Anak kecil tadi akhirnya menyudahi protes dan mulai menerbitkan senyum seterang matahari pagi di tengah malam. Sosok lelaki itu akhirnya mengeluarkan sepotong uang senilai seribu rupiah yang sudah jarang digunakan. Tampak pemandangan dua pulau lengkap dengan laut dan nelayan.
“Malam ini Ayah mau cerita tentang asal-usul pulau maitara. Pulau kecil yang ada di uang pecahan seribu ini. Bukan yang tinggi menjulang itu, tapi yang mungil di sampingnya, tahu kan”
Anak kecil yang sudah jinak beberapa waktu itu kemudian mendadak memprotes lagi. Tidak puas dengan cerita yang bahkan belum dimulai itu. Wajahnya kembali cemberut gemas.
“Adek sudah diceritakan dongeng itu berkali-kali di sekolah. Sultan dari Ternate jaman dulu ingin membuat gunung gamalama jadi yang paling tinggi di antara empat kesultanan lain, apalagi gunung pulau tidore yang tinggi di uang seribu itu kan? Makanya, sultan meminta bantuan burung raksasa berkepala dua untuk mengambil puncak gunung dari pulau makeang untuk ditaruh di puncak gamalama, tapi karena matahari terlanjur terbit dan burung raksasa itu bagian dari bangsa jin yang harus menghilang saat pagi menjelang, makanya bongkahan puncak itu hanya jatuh sebelum sampai dan itu menjadi asal-usul pulau maitara, pulau kecil di uang seribu”
Kedua orangtua anak itu hanya terdiam sambil memandang satu sama lain. Lelaki itu kemudian mengacak-acak rambut anaknya karena saking gemas dan bangganya. Tidak peduli dengan wajahnya yang tetap cemberut, pipinya tampak mau meledak. “Ayah ceritakan versi Ayah gimana? Pasti kamu belum dengar”
Pada suatu hari di masa lampau di pulau Ternate, Sultan yang menjabat tampak begitu gusar. Konflik yang tidak kenal selesai dengan kesultanan tetangga yang berlokasi tepat bersebelahan di pulau tidore. Kompetisi yang tidak pernah berujung ini membuat Sultan memutar otak untuk cari cara agar menang dari rivalnya yang tidak lain adalah tetangga kesultanannya.
Tepat di seberang lautan yang berjarak begitu dekat, tepat berhadapan dengan pulau Ternate, terdapat pulau Tidore. Yang di mana apa yang dilakukan oleh Sultan yang sementara memegang tampuk kekuasaan juga melakukan hal yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh tetangga kesultananya.
Tidak pernah mereka sadari, bahwa konflik lintas generasi yang terus berlanjut ini, kelak akan begitu mahsyur diceritakan di buku-buku sejarah yang mencatat aktivitas dari masa lalu. Sampai-sampai negara penjajah yang datang dari belahan bumi lain saja, saat menginjakkan kaki di kedua pulau ini, berhasil menghasut keduanya untuk lebih gencar saling berperang.
 “Gam, gimana kabar kamu? Apa yang dilakukan oleh manusia-manusia yang ada di permukaan tubuhmu? Tanya Kie Matubu. Itu adalah nama dari gunung yang ada di pulau tidore
“Begini-begini saja, Mat. Kurang lebih bisa dibilang persis sama dengan apa yang terjadi dengan manusia-manusia di badanmu” balas Gamalama dengan sedikit mendesah pelan karena sedih
Walaupun sultan-sultan memiliki kesaktian lebih daripada manusia pada umumnya. Seperti bisa berkomunikasi dengan mahluk lain, contohnya bangsa jin dan berbagai mahluk mitos. Akan tetapi, dimensi percakapan antar gunung tidak bisa ditembus oleh kesaktian mereka. Hanya para gunung yang memiliki akses untuk berkomunikasi atara satu dan yang lain.
Selain Ternate dan Tidore, Maluku Utara yang dulunya belum dikenal sebagai Maluku utara karena nama tersebut belum ada, bahkan negara Indonesia saja belum lahir. Penjajah belum berkunjung, Indonesia masih penuh dengan kerajaan-kerajaan. Khusus di Maluku utara, ada sebutan khusus untuk empat kerajaan besar, yang juga disebut Kie Raha dalam bahasa lokal, yang artinya empat gunung. Keempatnya mewakili empat kesultanan besar yaitu; Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.
Masing-masing gunung memiliki nama masing-masing. Gunung di ternate bernama Gamalama, di Tidore bernama Kie Matubu, di Jailolo bernama Gamkonora dan di Makeang bernama Kie Besi. Keempat gunung ini adalah pimpinan-pimpinan besar dari banyaknya penyebaran gunung di sekitarnya. Keempatnya selalu berkomunikasi dengan baik, tidak sepert manusia-manusia yang mendiami permukaan sekujur tubuh mereka, keempatnya akur.
Namun, di antara keempatnya, Ternate dan Tidore memang yang paling menjadi rival sejak jaman dulu. Dibanding dengan dengan kesultanan-kesultanan yang lainnya di antara keempatnya. Gunung-gunung selalu menjadi saksi dari sejarah.
Hingga pada suatu hari, Sutan Ternate mendapat ide untuk meminta bantuan pada salah satu mahluk mistis dari bangsa jin memiliki penampakan burung besar berkepala dua, Goheba. Dirinya yang memang sudah bersahabat dengan Sultan tentu tidak bisa menolak permintaan dari Sultan. Ternyata yang diinginkan adalah, dengan badan besarnya dan cakar kuatnya, ia diminta untuk mencabut ujung dari gunung Kie Besi di kesultanan Makeang yang pada waktu itu dipercaya sebagai gunung tertinggi di antara kesemua gunung-gunung yang ada.
“Kau cabut ujung gunung Kie Besi lalu kau taruh di puncak gunung Gamala. Dengan begitu Gamala akan jadi yang tertinggi” Pinta Sultan Ternate kepada Goheba yang langsung diiyakan
“Akan tetapi, aku harus mengatakan satu hal. Seperti yang kamu tahu, aku dari bangsa jin, aku tidak bisa lagi mempertahankan wujudku saat matahari terbit.” Jelas Goheba.
“Tentu saja aku mengetahui akan fakta tersebut. Maka, lebih cepat kau berangkat maka akan lebih baik” balas Sultan.
Goheba pun akhirnya pamit kepada Sultan dan mulai mengambil ancang-ancang sayapnya yang besar. Angin kencang perlahan menyelimuti pulau Ternate, dilanjutkan dengan Goheba yang kemudian mengudara menuju keberadaan gunung Kie Besi.

Mengetahui rencana dari Sultan, Gamalama pun menghubungi Kie Matubu. Konflik yang selama ini terjadi tidak pernah mengusik mereka walaupun selalu berhasil membuat resah. Tapi kali ini berbeda, puncak gunung Kie Besi akan dicabut paksa, kemudian akan ditempelkan pada puncak gunung Gamalama. Percakapan antara Gamalama dan Kie Besi yang lebih genting dan membuat mereka berbicara lebih besar itu membuat semua gunung yang berada di sekitar otomatis juga mendengar.
Sebelum Gamalama berhasil membuat ruang komunikasi khusus empat gunung, tanpa disadar, gunung Gamkonora dari kesultanan Jailolo sudah mengajak keduanya berkomunikasi terlebih dahulu. “Gamalama, Kie Matubu, apa yang sebenarnya terjadi? Aku baru saja mendengar kabar dari gunung-gunung kecil di sekitarku. Apakah hal itu memang benar demikian?” tanya Gamkonora dengan nada panik. Gamalama dan Kie Matubu hening untuk beberapa saat, bingung bagaimana menjelaskan.
“Aku tidak ingin mengatakan hal ini, tapi semua yang diperbincangkan oleh gunung-gunung kecil itu adalah benar. Mereka tidak sengaja mendengarkan aku dan Kie Matubu” jelas Gamalama dengar suara yang bergemetar seperti Gamkonora.
“Kita harus melakukan sesuatu. Tapi dimensi kita berdeda dengan dimensi Goheba sang burung raksasa berkepala dua” tambah Kie Matubu menyarankan untuk segera bertindak.
Di tempat yang jauh dari Gamalama, Kie Matubu dan Gamkonora berada, Goheba sudah hampir sampai pada titik tujuan penerbangannya. Kie Besi sudah ada di depan matanya. Kie Besi tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bersiap menerima takdirnya, puncak gunungnya akan dicabut paksa darinya. Dengan satu kepakan sayap terakhir, Goheba akhirnya berhasil menancap di puncak gunung Kie Besi, cakarnya yang besar dan tajam menusuk permukaan puncak, mengoyak dan melepaskan ikatan tanah dan pepohonan dari seluruh bagian tubuh gunung.
Seluruh gunung yang ada di sepanjang lautan hanya diam seribu bahasa, setiap gunung sejatinya terhubung oleh jalur magma, sehingga sakit yang dirasakan oleh Kie Matubu saat puncaknya dicabut itu juga dirasakan semuanya. Gamalama yang sudah tidak tahan dengan rintihan Kie Besi akhirnya mengajak Kie Matubu dan Gamkonora untuk ikut hadir di gunung Kie Besi, mereka memindahkan kesadaran mereka, kemudian membuka dimensi khusus yang hanya diketahui oleh para gunung. Semua dilakukan agar Goheba bisa mendengar suara para gunung, saat keempat kesadaran bersatu akhirnya terdengar sayup-sayup suara bisikan sampai akhirnya suara teriakan gelegar keras.
“JANGAAAAAAAAAAAANNNNNNN” teriak keempat gunung.
Namun, semuanya sudah terlambat. Goheba sudah berhasil mencabut puncak gunung Kie Besi sampai terlepas. Sekarang, puncak Kie Besi itu ada di dalam cengkeraman cakarnya.
“Apa yang baru saja aku dengar? Kalian para gunung bisa bicara? Bukankah kalian tidak hidup dan tidak bisa bicara?” tanya Goheba yang begitu kaget sampai cengkeramannya sedikit goyah dan hampir saja menjatuhkan puncak tersebut
“Iya, kami bisa bicara. Kami sudah melihat banyak hal selama waktu yang tidak bisa dihitung, tapi kali ini yang paling sadis” Gamalama yang pertama bersuara. “Manusia-manusia yang mendiami kami bukanlah kami” Kie Matubu lanjut bicara. “Aku yang terletak lumayan jauh dari letak posisi Gamalama dan Kie Matubu hanya bisa prihatin dengan manusia-manusia mereka yang terus berperang tanpa kenal akhir selama ini” Gamkonora ikut gabung dalam percakapan. “Namun, semuanya sudah terjadi, puncak gunungku sudah kau cabut, itu rasa paling sakit yang pernah aku rasakan seumur hidupku yang panjang ini” Kie Besi akhirnya bisa mengeluarkan suara setelah tadi diam.
“Aku hanya melakukan perintah Sultan. Tidak sama sekali aku atau bangsa jin yang lain tahu kalau kalian para gunung juga punya jiwa dan kesadaran dan paling penting, merasa sakit” Goheba masih melayang dengan puncak gunung Kie Besi di cengkeramannya yang ia begitu jaga agar tetap bisa aman.
“Kalau kau sekarang melesat terbang dan menancapkan puncak gunung itu padaku, Sultan Ternate mungkin bisa senang untuk sementara waktu, Sultan Tidore bisa saja membalas dendam dengan mencabut puncak gunung yang lain untuk Kie Matubu” Gamalama memberikan penjelasan tentang kemungkinan buruk.
Kie Matubu yang mendengarkan tidak menyanggah apapun yang dilontarkan oleh Gamalama. Ia tahu benar bagaimana sikap manusia-manusia ini. Setuju dengan perkataan Gamalama, ia sadar hal ini akan mejadi metode baru Ternate dan Tidore untuk berperang, mereka akan berperang untuk memiliki gunung yang tertinggi. Dan mereka tidak akan pernah puas. Tidak bisa dibayangan, penderitaan yang baru saja dialami oleh Kie Besi sebagai gunung yang paling besar dan tinggi, nantinya juga akan dirasakan oleh gunung-gunung muda yang lainnya. Rasa sakit yang memaksa mereka membuka dimensi rahasia dan membuat Goheba akhirnya menyadari keberadaan dari mereka.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Goheba
“Kami tidak bisa mendiktemu untuk apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh kau lakukan. Kami hanya bisa menyuarakan pendapat kami mengenai potensi bencana di masa depan” Gamkonora kini memutuskan memberikan komentarnya.
“Aku hanya berharap kalau tidak akan ada lagi gunung-gunung yang akan merasakan sakit yang aku alami” terang Kie Besi
Setelah berpikir sebentar, Goheba akhirnya mengambil keputusan. “Aku tidak bisa menolak perintah Sultan, aku juga tidak bisa memasang kembali puncak ini pada Kie Besi, tapi aku bisa berpura-pura tetap mengantarkan puncak ini namun tidak menancapkannya. Dengan cara terlambat” Goheba menjelskan.
Goheba akhirnya terbang perlahan meninggalkan keberadaan gunung Kie Besi yang ada di belakangnya, menuju gunung Gamalama dan gunung Tidore yang saling berhadapan. Ia sengaja memperlambat laju kecepatan terbangnya, menunggu hingga matahari akhirnya mengintip dari ufuk timur. Saat sudah berada begitu dekat dengan pulau Ternate, sang Sultan menanti dengan melihat Goheba yang sedang terbang mendekat ke arahnya, puncak gunung Kie Besi terlihat jelas ada dalam cengkeraman cakar Goheba, Sultan tersenyum puas.
Akan tetapi sedikit demi sedikit cahaya dari matahari terbit seakan mengejar Goheba dari arah belakang, daerah yang masih ditutupi gelapnya malam semakin sedikit.”Sultan, aku minta maaf, matahari sudah muncul, aku harus menghilang” tepat saat Goheba terbang di lautan antara pulau Ternate dan Tidore, cahaya demi cahaya sudah memenuhi wilayah tersebut, Goheba pun langsung menghilang dan menjatuhkan puncak dari gunung Kie Besi. Puncak tersebut akhirnya bersatu dengan permukaan lautan dan menancap, melahirkan pulau baru yang kemudian dikenal oleh orang-orang dengan sebutan Maitara.
“Gimana cerita versi Ayah?” tanya lelaki berkacamata.
“Woah, aku lebih suka versi ini daripada versi aslinya, Yah” anak kecil yang tadinya cemberut akhirnya tersenyum lepas.
sumber gambar : wikipedia

Comments

  1. Kereeen, ceritanya semakin lama semakin sempurna kak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah masih jelek. kebiasaan memujinya tambah hari tambah wadidaw kak.

      Delete
    2. auto ngbayangin sakitnya jadi kie besi..
      selau keren ka

      Delete
    3. ngebayanginnya salah satu anggota badan ditarik samlai lepas ya. tuh kan ngeri.

      Delete
  2. Wow, versi barunya lebih menarik👍

    ReplyDelete
  3. Hwaa serius manthaap kak.. Jadi malu melihat tulisanku wkwkk

    ReplyDelete
    Replies
    1. tulisan kamu juga bagus banget kok. udah aku mampir tadi.

      Delete
  4. Salam buat goheba dong, bilangin tolong ambilin bintang di langit. 😁

    Rada ambigu di paragraf pertama, Dwi...
    dikatakan :

    "Penampakan wanita bergaun tidur memasang wajah masam, bibirnya monyong, senyumnya yang rapat membentuk lubang kecil di sekitaran pipi yang biasa orang sebut dengan lesung."


    Senyum dan monyong itu dua hal yang berbeda🙏

    Ini pendapatku sebagai pembaca, Dwi. Over all, ceritanya bagus👍👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah makasih banyak masukannya kak. masih harus banyak belajar menulis deskripsi wajah nih ehe.

      Delete
  5. Langsung ngebayangin gunung teriak. Awkwkw. Lol

    ReplyDelete
    Replies
    1. teriakan kompak kayak grup valetta yang kompak kumpul tulisan tantangan di hari terakhir ehe

      Delete
  6. Bisa bikin cerita seasyik itu aku auto bayangin si dedek lagi mandangin ayahnya bercerita dengan girang lhoo...kereeen

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah bahagia sesederhana kalau tulisan ini bikin orang ikut menghayal

      Delete
  7. Sayangnya aku gk tau cerita sebenarnya, tulisannya enak dibaca keren"

    ReplyDelete
  8. "Terima kasih ayah, tapi ada bahasa yang tak ku mengerti ayah", ucap sang anak dengan muka kembali masam 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. adek gagal tidur dong kalo begitu ehe. in sha Allah adek ngerti kok.

      Delete
  9. Jujur baru tau ada cerita ini. Tapi dapet inspirasi buat mendongeng nih..semangat terus

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya ini cerita rakyat di daerah aku. yang beda adalah aku ganti sudut pandangnya, membuat gunung hidup.

      Delete
  10. Bener juga ya... Balapan bikin gunung tertinggi lama-lama bisa bikin gaduh dunia internasional... Hehe

    ReplyDelete
  11. Baru tau kalau di uang seribu itu ada pulau maitara. Tapi kok liat aslinya ga keliatan itu pulau. Sebelah mananya sih??

    ReplyDelete
    Replies
    1. ada di antara pulau ternate dan pulau tidore. masa sih gak keliatan? pulau yang kecil imut itu loh.

      Delete

Post a Comment